Iklan

/

Iklan

Islam, Bugis, dan Onde-Onde: Memahami Nilai Alebbireng dan Sennu-Sennureng

Sahrul Mimbar.News
Jumat, 31 Juli 2020, 13:02 WIB Last Updated 2020-09-13T13:10:47Z


AG. Dr. KH. Afifuddin Harisah, Pimpinan PP An-Nahdlah Makassar & Ketua RMI NU Sulsel


Mimbar. News, Makassar-Masih ingat wacana viral “klepon (onde-onde) tidak islami’? Kuliner tradisional nusantara yang tak terpisahkan dari budaya ke-Bugis-an terpaksa ditarik ke dalam ranah teologis, hingga tak ayal ikut “dikafirkan” oleh para pengusung simbolisme agama, sama nasibnya dengan gaji karyawan bank, arisan, musik, gambar, dan sebagainya. Pesan makanan lewat aplikasi online pun akhir-akhir ini kabarnya sempat dipersoalkan juga.  Mengherankan memang. Perdebatan islami-tidak islami, syar’i dan tidak syar’i, haram atau halal, sunnah-bid’ah, seakan tidak menemukan titik temu, padahal Islam telah tuntas sejak lima belas abad silam.

Entah apa karena kita masih dalam proses belajar tentang Islam dan syariat Islam, atau karena masih ada yang gagal paham dengan prinsip-prinsip syariat Islam, atau ada kesengajaan pihak-pihak tertentu untuk membenturkan Islam dan budaya lokal, yang sejatinya dapat berbaur dan berjalan secara damai. Semoga persoalan seperti ini tidak justru menghabiskan energi umat untuk membangun peradaban Islam yang rabbani, samhah dan berkemanusiaan sebagaimana yang dicita-citakan bersama.

Perlu dibedakan antara Islam sebagai ajaran normatif dan konstan (muthlaq), Islam sebagai hukum tasyri’ yang berdialektika dengan kondisi sosial-kemanusiaan sejak ayat pertama turun hingga detik ini, dan Islam sebagai bagian dari sejarah kemanusiaan yang tidak bisa dilepaskan dari dimensi lokalitas dan kultur setempat. Tiga paradigma keislaman ini tidak bisa dicampuradukkan tetapi bisa dikoneksikan antara ketiganya. Di sini, peran moderasi Islam sangat jelas dalam memberi pemaknaan yang komprehensif tentang inter-relasi paradigmatis islam normatif, Islam kultural dan Islam historis.

Untuk mudahnya dipahami saya berikan misal. Puasa mewajibkan berbuka sebagai ajaran normatif. Artinya jika anda berpuasa dan sudah tiba waktunya berbuka ya wajib berbuka, meski hanya seteguk air. Itu syariat yang bersifat konstan, tidak boleh diganggu-gugat.

Dalam sunnahnya, kebiasaan Rasul adalah berbuka puasa dengan penganan yang manis, dan penganan manis yang terbaik dan terjangkau oleh masyarakat awam di Arab saat itu adalah kurma dengan berbagai variannya. Kurma adalah kuliner lokal dan kultur yang mengakomodasi hukum berbuka puasa tersebut. Selain itu, jauh sebelum Islam datang, orang Arab sudah biasa mengkonsumsi kurma sebagai kuliner lokal mereka.

Syariat Islam tidak menjadikan jenis makanan tertentu sebagai syarat yang menentukan sah tidaknya buka puasa. Jangan berharap Rasul berbuka puasa dengan kue lapis atau pisang ijo saat itu. Tetapi seandainya ada klepon atau onde-onde di Arab, bisa jadi Rasul akan menjadikannya juga sebagai salah satu menu pilihan berbuka puasa.

Dari perspektif historis, seandainya para ulama penyebar Islam di nusantara ‘memaksakan’ kurma sebagai kuliner syar’i dan mendatangkan pasokan kurma dari Arab sebagai makanan islami, maka dengan sangat terpaksa, kue klepon, sanggara, barongko, roko cangkuni, cella ulu dan teman-temannya harus rela dikafirkan, hanya karena bukan dari Arab.

Paradigma Islam historis, dalam contoh kasus kurma vs klepon di atas, membuat kita akan lebih bijak dalam merespon perkembangan, dinamika dan relasi kultur yang melekat dalam realitas pengamalan Islam di berbagai wilayah bumi ini. Secara khusus, Islam di tanah Bugis juga menampilkan fenomena akulturasi yang apik dan santun sejak masuknya Islam oleh para ulama dari Mekah hingga munculnya gejala-gejala pemahaman ekstrem yang rabun sejarah.

Ulama dan tokoh Islam di Sulawesi Selatan, khususnya, telah berhasil “mengislamkan” sejumlah tradisi dan adat budaya Bugis Makassar. Satu pendekatan dan strategi dakwah yang brillian, membuat dakwah Islam tidak ditolak, ataupun  sebaliknya, Islam tidak ‘menjajah’ budaya dan kearifan lokal setempat.

Alebbireng

Alebbireng atau mappakalebbi adalah sikap atau adat Bugis mengekspresikan penghormatan atau pemuliaan pada person dan entitas budaya yang disepakati untuk  dihormati. Kearifan lokal di tanah Bugis mengajarkan konsep-konsep budaya penghormatan, dan hal ini sejalan dengan nilai Islam yang juga menjadikan sikap penghormatan kepada sesama manusia sebagai kewajiban setiap muslim. Banyak hadis yang menyebutkan kewajiban mappakalebbi, misalnya hadis yang menegaskan penghormatan kepada tamu dan tetangga sebagai indikator keimanan.

Budaya menghamparkan kain putih untuk dilewati mempelai pengantin, membuat ember hias (baku atau male) di perayaan maulid Nabi, dan peca pitun rupa (bubur tujuh rasa) untuk penganan di hari 10 muharram, bukanlah adat yang tidak islami atau bid’ah yang menyesatkan. Ketiga contoh tradisi Itu adalah mappalebbbi atau ekspresi nilai alebbireng, yang pada substansinya adalah memuliakan tamu, memuliakan hari kelahiran Nabi sebagai bukti kecintaan, dan memuliakan hari asyura sebagai hari kemenangan. Justru yang disayangkan adalah muslim berhati gersang, tidak tahu menghormati dan memuliakan.

Yang menggelikan, ada ustad yang, dengan sinis, mencemooh perilaku muslim yang mencium mushaf setiap selesai mengaji. Alasannya, Nabi dan Sahabat tidak mencontohkan. Gagal paham bahwa itu adalah mappakalebbi kepada keagungan firman Allah, dan jika dibilang tidak ada contoh, apakah memang sudah ada mushaf cetakan pada masa Nabi?

Sennu-sennureng

Sennu-sennureng, sama hal dengan alebbireng, merupakan salah satu kearifan lokal dan sikap intrinsik yang berlaku dalam kehidupan adat Bugis. Lagi-lagi ini adalah persoalan rasa, yang seringkali tidak dapat dipahami dan diafirmasi oleh orang-orang yang di benaknya cuma ada dua bilik, bilik sunnah dan bilik bid’ah. Sennu-sennureng adalah ekspresi yang berangkat dari rasa pengharapan dan optimisme pada sebuah niat untuk melakukan aktivitas. Momennya bisa apa saja, karena namanya pengharapan maka siapapun berhak untuk mengekspresikan. Dalam bahasa arab diistilahkan al-tafa’ul (التفــاؤل).

Persoalannya, apakah sennu-sennureng ini dibolehkan oleh syariat? Pertama, agama memerintahkan kita untuk optimis dan membenci sikap putus asa. Seorang mahasiswa memasang topi toga di kamarnya, dengan harapan dan optimisme bahwa dia akan mampu memakainya kelak di suatu saat. Kedua, Rasulullah sendiri menyukai tafa’ul yang baik (الفــأل الحسـن), meski membenci ketergantungan yang berlebihan pada sesuatu secara mistik (الطــيرة). Ketiga, selama tidak melanggar akidah, tidak musyrik dan niatnya kepada Allah, maka ekspresi pengharapan apapun sah-sah saja dan tidak ada alasan untuk diharamkan.

Menyediakan klepon, onde-onde atau umba-umba (makassar) dalam seremoni memasuki rumah baru, beli mobil baru atau kantor baru, merupakan sennu-sennureng, yaitu harapan semoga rumah baru, mobil baru atau usaha baru itu mendatangkan kebaikan dan peningkatan kesejahteraan pemiliknya, sesuai dengan sifatnya yang manis, legit, dan naik mengapung di panci saat direbus.

Apa memang tidak cukup dengan berdoa? menyantap onde-onde bersama tetangga dan teman-teman, sebagai bentuk sedekah, akan menguatkan doa yang terpanjat dalam hati. Selain itu, mengundang orang lain makan onde-onde dalam setiap seremoni kebahagiaan akan memperkuat silaturrahim, dan dengan membina silaturrahim yang kuat akan memperpanjang umur dan melapangkan rezeki. Itu ada hadisnya.

Jika demikian, tradisi dan kuliner Bugis mana yang dianggap tidak islami? Pemikir Islam, Muhammad Abid al-Jabiri telah mengkaji dengan serius untuk menemukan titik temu dan sekaligus titik pisah antara Islam dan Arab. Kesimpulannya, Arab adalah bagian dari entitas keislaman, karena Al-Qur’an berbahasa Arab dan Rasulullah orang Arab, tapi Islam tidak seluruhnya adalah Arab.

AG. Dr. KH. Afifuddin Harisah, Pimpinan PP An-Nahdlah Makassar & Ketua RMI NU Sulsel
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Islam, Bugis, dan Onde-Onde: Memahami Nilai Alebbireng dan Sennu-Sennureng

Terkini

Iklan

Close x