Iklan

/

Iklan

Perihal Urusan Dunia dan Akhirat

Redaksi Mimbar.News
Sabtu, 27 Juni 2020, 20:03 WIB Last Updated 2020-09-13T13:13:36Z
Oleh: Ustadz Indra Syarif (Pendidik)



"Engkau ingin bertajrid, padahal Allah menjadikanmu pada golongan yang mencari penghidupan. Keinginan (bertajrid) merupakan kehendak hawa nafsu. Sebaliknya kau ingin memenuhi kehidupan duniawi, padahal Allah telah menjadikanmu ke dalam golongan bertajrid.  Keinginan mengejar duniawi merupakan kemunduran dari cita-cita yang luhur." (Syekh Ibnu Atha'illah As Sakandari, Telaga Ma'rifat).

Sederhananya, sikap kita sebagai muslim yang diperhadapkan pada dua kehidupan yang sedang (dunia) dan yang akan (akhirat) dituju, dibutuhkan pemahaman yang tepat dalam menyikapinya. Narasi "lama" sebagai pandangan yang arif adalah menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat, namun seiring kontemplasi manusia terus menerus, narasi itu mengalami "penyempurnaan", yakni kehidupan dunia dan akhirat adalah dua dimensi kehidupan yang tak terpisah secara proses, akhirat adalah persambungan dari kehidupan manusia di dunia. Dunia adalah ladang pemenuhan bekal yang akan dibutuhkan pada perjalanan di akhirat. Yang namanya bekal akan menentukan keadaan kita di kemudian hari.

Di dunia, ada dua sarana aktivitas manusia yakni bekerja dan beribadah. Tentu keduanya dalam konteks ini harus dimaknai berbeda di mana bekerja yang berorientasi dunia "saja" dan beribadah yang berorientasi  jauh (akhirat). Maka manusia pada dasarnya berada di dua kategori ini. Hikmah Syekh Ibnu Atha'illah di awal tadi adalah melihat dengan jeli keadaan seseorang dalam melakukan rutinitas kehidupannya. Realitas itu bisa dilihat, ada yang begitu total bersungguh-sungguh melakukan ritual ibadah (bertajrid) yang dinilai oleh Syekh Ibnu Atha'illah justru sebagai nafsu yang tersembunyi. Mengapa? Karena keadaannya masih berada pada ketergantungan pada tanggung jawab mengurusi kesejahteraan hidupnya. Sebaliknya, seseorang yang justru menenggelamkan dirinya pada kesibukan penghidupannya (bekerja) namun dirinya sudah seharusnya pada level tajrid (berdiam dan fokus memperbanyak ibadah), juga dinilai kurang arif. 

Dibutuhkan sebuah kepekaan batin untuk mengetahui dengan pasti seseorang berada di mana di antara kedua maqam tersebut. Mengetahuinya tidak cukup dengan melihat gejala lahiriah saja, maka dari sini seharusnya perenungan akan keadaan diri memang harus menjadi satu amalan yang terus menerus. Silahkan setiap diri kita melakukan introspeksi diri untuk tahu sudah sampai di mana kualitas kita dalam menjalankan perintah beribadah, serta sudah sejauh mana kita telah mencapai jaminan kesejahteraan hidup. Perenungan semacam itu bisa kita raih dengan banyak berbicara kepada diri sendiri, karena sejatinya manusia mampu melihat dan mengetahui keadaan dirinya yang otentik. Hanya saja pergulatan hidup yang dihadapi membuat manusia sibuk dengan urusan di luar dirinya, sehingga itu menjadi hijab dari pengetahuan tentang dirinya. 

Arah hidup memang perlu selalu dicerna oleh batin secara spiritual, karena ketika terlalu lama batin tidak "bekerja" maka inilah titik awal manusia akan mengalami "dehumanisasi" atau kita pahami sebagai keterasingan. Dari keterasingan akan menciptakan gejolak perilaku yang tidak hanya berpotensi buruk bagi dirinya tetapi juga bagi kehidupan di lingkungannya. Inilah sumber masalah di kehidupan sosial.

Kembali memaknai hikmah di awal tadi, puncaknya adalah melibatkan diri pada sebuah rutinitas tertentu dengan porsi/intensitas yang tepat lebih baik jika memahami terlebih dahulu keadaan (maqam) kita. Ritual ibadah (kebanyakan sunnat) yang begitu giat dilakukan sampai mengabaikan kewajiban lainnya merupakan akhlak yang tidak baik bagi seorang muslim, karena umumnya didasari nafsu yang tersembunyi. Sebaliknya, penghidupannya sudah berada pada wilayah "tanggungan" Allah secara langsung dalam makna tidak dibebankannya sebab-sebab bagi dirinya maka tidak lagi arif jika masih saja memaksakan diri mengurus (bekerja keras) untuk penghidupannya. Khusus pada kalimat terakhir sebelumnya ini, penulis memberikan batas pembacaan yakni, seseorang yang sudah sejahtera melebihi batas kebutuhannya seharusnya tidak lagi berambisi mengumpulkan lebih banyak lagi (dari hak orang lain), kesejahteraan itu sebaiknya dimanfaatkan sebagai sarana/kesempatan untuk lebih sering beribadah. Semoga doa yang umumnya kita lantunkan di akhir rangkaian seluruh doa setelah sholat berikut bisa menjadi penghayatan khusus tentang perihal urusan dunia dan akhirat, "Rabbanaa Aatinaa Fid Dunya Hasanah Wafil Aa'khirati Hasanah Waqinaa 'Adzaabannaar."

Wallahu A'lam.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Perihal Urusan Dunia dan Akhirat

Terkini

Iklan

Close x