Iklan

/

Iklan

Jiwa yang Tenang

Redaksi Mimbar.News
Selasa, 30 Juni 2020, 11:20 WIB Last Updated 2020-09-13T13:12:30Z
Oleh: Indra Syarif (Pendidik)

"Tenangkanlah jiwamu dari urusan duniawi sebab apa yang telah dijanjikan Allah, janganlah kamu turut memikirkannya." (Syekh Ibnu Atha'illah As Sakandari, Telaga Ma'rifat, hal 20).

Ketenangan dalam hidup dirasa adalah sesuatu yang sangat berharga dalam hidup ini. Bayangkan, segala bentuk kemewahan tidak mampu menghadirkannya jikalau tidak disertai dengan keadaan jiwa yang tenang. Dalam masalah jiwa yang tenang ini, faktornya adalah seberapa kuat akses jiwa itu sendiri dengan Allah Swt. Ikhtiar mendekati Allah adalah proses yang menenangkan bagi siapapun yang melakukannya. Karena pada fase itu, ada kerinduan kepada Allah Swt yang menghadirkan keyakinan pada rahmat dan berkah Allah Swt, sisi inilah yang akan mewujudkan ketenangan itu.

Menurut Syekh Ibnu Atha'illah, kerisauan jiwa disebabkan karena permainan pikiran. Pikiran selalu was-was mengkhawatirkan apa yang akan terjadi di waktu mendatang. Zaman inipun semakin membawa pada kerisauan pada kebutuhan hidup, maka yang kita saksikan adalah tidak sedikit manusia lalu "berebutan" dengan cara yang salah dalam upaya memperoleh kebutuhan hidup. Sementara menurut beliau, orang-orang yang telah memiliki ketajaman mata hati akan berpegang pada firman Allah surah Ath-Thalaq ayat  3 sebagai mana artinya : "Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu."

Hamba yang terpilih ditajamkan mata hatinya akan lebih memprioritaskan kewajibannya sebagai hamba beribadah kepada Allah Swt daripada selalu disibukkan "mengurusi" urusan Allah SWT. Sarana dan prasarana penghidupan semua makhluk akan ditanggung oleh Sang Khaliq Allah Swt.

Zaman ini, arah hidup menjadi sesuatu yang dominan berkiblat pada materialisme. Segala bentuk penghayatan manusia tidak lagi dipenuhi dengan orientasi luhur yang bersifat rohaniah, tetapi berambisi pada pemenuhan selera jasmaniahnya yang tak pernah puas. Selalu saja dalam kehidupan sosial jika ditelisik dengan cermat, akar masalahnya ada pada obsesi materialisme seseorang maupun sebuah komunitas tertentu. Bahkan pada sisi yang secara simbol merupakan perbuatan luhur (agama) diplesetkan mengarah pada obsesi rendah yang diurai sebelumnya (syahwat).

Pada perkembangannya, tidak sedikit juga orang-orang (Muslim) berbondong-bondong meluruskan praktek kehidupannya dengan mengisi jiwanya (ilmu dan amaliyah). Semangat ini potensinya sangat baik selama jalurnya adalah jalur yang "dialamatkan" pada nilai Islam yang dibimbing oleh ahlinya yakni Ulama. Sehingga proses yang dibingkai dengan simbol keluhuran itu tidak justru hanya menjadi panggung keshalehan yang akan menjadi komoditi yang dapat dijual.

Pada sisi individu, semoga setiap "manusia rohani" tetap mampu menjaga kualitasnya sebagai hamba yang baik. Praktek kehidupannya lebih tertuju pada kewajiban sebagai hamba yang terbatas pada Ikhtiar sesuai nikmat potensi/keterampilan yang Allah Swt berikan kepadanya. namun segala hasilnya tertampung pada jiwanya yang tawakal. Sebagaimana dari satu hadits, Rasulullah Saw pernah bersabda: "Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sepenuh hati, pasti kamu akan mendapatkan rezki seperti rezkinya burung yang ketika pagi meninggalkan sarang perutnya kosong, ketika sore hari pulang ke sarang perutnya penuh." (HR. At-Turmidzi).Wallahu A'lam.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Jiwa yang Tenang

Terkini

Iklan

Close x